Salamku,

Selasa, 19 Juli 2011

POSITIVE WITH RAMADHAN


MARHABAN Ya Ramadhan. Bulan Ramadhan, bulan yang penuh berkah, rahmat dan ampunan. Bulan yang seringkali kita jadikan momentum kembali mendalami religiusitas. Selama sebulan kita berpuasa. Selama sebulan kita menahan emosi, lapar dan haus di siang hari. Di malam hari kita memperbanyak ibadah-ibadah sunnah seperti tarawih, witir dan tadarus Al-Qur’an.
Sayangnya, banyak di antara manusia yang melakukan hal-hal tersebut, atas dasar kultural. Karena tradisi atau ikut-ikutan. Padahal yang menjadi fundamental ibadah puasa adalah aspek pendekatan diri kepada Allah, penyucian diri, dan membangun kesalehan social untuk dapat diimplementasikan juga di luar Bulan Ramadhan.

Dengan ibadah puasa, seorang yang beriman berusaha mengaktifkan kekuatan rohaninya, lalu berusaha mendekatkan diri kepada Allah sedekat mungkin. Dengan kedekatan dan intensitas berkomunikasi dengan Allah, sebuah proses penetrasi dan internalisasi sifat dan nilai Illahiah dalam diri seseorang diharapkan akan terjadi.

Seharusnya tujuan dari puasa kita adalah gerak hati meraih kedekatan dengan Allah. Sebab dengan berpuasa kita bisa lebih membuka diri, mebersihkan, dan membuang jauh-jauh pikiran, perasaan, serta perilaku kotor sehingga cahaya dan energi Illahi untuk turun (nuzul) ke dalam diri kita. Inilah pula dasar fundamen untuk membangun kesalehan sosial, baik bersifat individual maupun komunal.

Selain aspek religiusitas yang lebih individual, puasa juga merupakan jalan menuju kesehatan baik secara mental, fisik maupun sosial. Berbagai kajian ilmiah menunjukkan, dampak puasa amat positif bagi kesehatan dan pembinaan mental. Diharapkan pula dari sini personal-personal yang demikian untuk kemudian membangun jaringan kesalehan sosial.

Kesalehan sosial yang juga bisa mengimplementasikan solidaritas, kejujuran, toleransi, maupun welas asih, mampu meredam konflik-konflik individual maupun komunal. Hidup menjadi demikian indah dan bermakna bila terhimpun individual-individual yang tingkat kesalehan sosialnya tidaklah payah.

Sungguh sangat tepat Ramadhan kita refleksi dalam kapasitas itu pula. Dan nyatalah kemudian bahwa kita berpuasa mengejawantahkannya bukan semata linear urusan vertikal transendental, juga horisontal sosial. Dalam ibadah puasa, ada tiga aspek yang fundamental, yaitu pendekatan diri kepada Allah, penyucian diri, dan membangun kesalehan sosial.

Bahwa apa yang selalu dipikirkan, dibayangkan, dan akan mempengaruhi dan menggerakkan perilaku seseorang, jika hati dan pikiran terikat dan tertuju kepada Allah Yang Mahakasih, maka kasih Allah akan merasuk ke dalam diri kita sehingga kita menjadi instrumen Allah sebagai penyebar kasih dan kebajikan.

Namun, untuk meraih prestasi ini mensyaratkan kita untuk membuka diri, mebersihkan, dan membuang jauh-jauh pikiran, perasaan, serta perilaku kotor karena cahaya dan energi Illahiah untuk turun (nuzul) ke dalam diri kita.

Dan sungguh, ketika menjalani puasa, seseorang merasakan betul kehadiran Allah di mana pun ia berada sehingga ia senantiasa berlaku jujur, senantiasa menyebarkan vibrasi kebaikan dan damai. Efek sosial-psikologi puasa mudah sekali kita amati dan rasakan terutama selama bulan Ramadhan. Salah satu hikmah puasa adalah untuk mendidik jiwa agar mencapai derajat takwa, pribadi yang mampu menahan diri dari berbagai godaan yang merugikan diri sendiri dan orang lain.

Bagi sebagian orang, bulan suci Ramadhan merupakan bulan untuk meng-up grade dan revitalisasi diri sehingga hidup ini senantiasa dipandu kekuatan spiritual. Lewat puasa kita kembalikan dan perkokoh nurani untuk menjadi pemimpin kehidupan. Kita mesti bersikap positif karena yakin, bulan Ramadhan pasti mendatangkan berkat dan rahmat begi kita semua.

Pada saat berpuasa, kita secara tidak sengaja telah mengistirahatkan usus dan alat-alat pencernaan yang telah bekerja keras sepanjang tahun. Saat istirahat, tubuh punya kesempatan membersihkan usus dari sisa endapan makanan dan memperbaiki kerja pencernaan. Puasa juga menjadi kesempatan menurunkan berat badan bagi orang-orang gemuk. Sebab, selama puasa tubuh kita secara otomatis akan mencari sumber energi dalam tubuh. Tenaga akan diambil dari simpanan lemak dalam tubuh.

Namun, menyangkut aspek metafisik-spiritual, hal itu kita serahkan kepada Allah sepenuhnya karena seseorang tidak punya kewenangan dan kemampuan untuk mengukur keikhlasan dan ketakwaan seseorang. Tak ada yang tahu kualitas dan kedalaman puasa seseorang kecuali Allah. Dan ketika menjalani puasa, seseorang merasakan betul kehadiran Allah di mana pun ia berada sehingga ia senantiasa berlaku jujur, senantiasa menyebarkan vibrasi kebaikan dan damai.

Efek sosial-psikologi puasa mudah sekali kita amati dan rasakan terutama selama bulan Ramadhan. Tiba-tiba kita menemukan aura spiritual yang kental dalam keluarga, lingkungan kerja dan masyarakat. Televisi serta radio pun berlomba menyajikan acara keagamaan semenarik mungkin. Mayoritas masyarakat Indonesia berubah menjadi santun, mampu menahan diri, jujur, dan tidak ingin menyakiti orang lain. Selama Ramadhan kita menemukan masyarakat yang beradab dan religius.

Hal seperti itulah yang diharapkan Allah lewat firman-firman Alqur’an. Dengan berpuasa kita kemudian menjadi manusia yang mampu menahan diri dari berbagai godaan yang merugikan diri sendiri dan orang lain.

Sayangnya, sekali lagi, banyak manusia yang melakukan perubahan diri seperti itu hanya karena budaya. Tradisi yang telah lama ada adalah setiap bulan Ramadhan kita harus mampu menahan diri. Sehingga wajarlah jika semua ‘adab’ masyarakat Indonesia hanya bisa kita rasakan di selama satu bulan saja.

Kita mesti bersikap positif karena yakin, bulan Ramadhan pasti mendatangkan berkat dan rahmat begi kita semua. Bila kita sungguh-sungguh dalam berpuasa, tentu nilai-nilai yang menjadi faedah puasa bisa menjadi karakter bangsa, keberagaman kita akan dirasakan sebagai rahmat, untuk menghapuskan kesan bahwa agama itu sumber pertengkaran, keganasan, dan sekedar peleburan dosa. Selamat berpuasa Ramadhan. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar